-->

Mengapa Porsi Makanan Khas Kudus Kok Kecil Dan Sedikit ? Apakah Orang Kudus Itu Pelit ? Ini Lho… Filosofinya

Mengapa Porsi Makanan Khas Kudus Kok Kecil Dan Sedikit ? Apakah Orang Kudus Itu Pelit ? Ini Lho… Filosofinya

Menjadi orang “cah” Kudus terkadang memang harus bersabar dan berlapang dada. Bayangkan saja, ketika suatu saat kedatangan saudara atau teman yang berasal dari luar kota ( yang jauh dari kota Kudus utamanya ), sebagai tuan rumah tentu ingin manyambut dan melayani mereka sebaik-baiknya.
Dan ketika kedatangan di kota Kudus ini adalah untuk yang pertama kalinya, biasanya mereka bertanya :

“ Apa saja sih makanan khas Kudus ?”

Dan lagi, sebagai tuan rumah yang baik, maka kita akan berupaya memenuhi rasa keingintahuannya. Maka jadilah kita mulai mengenalkan beberapa makanan khas Kudus kepada mereka.
Jika pas di pagi hari, maka kita ajak mereka untuk menikmati betapa khasnya kenikmatan Lentog Kudus. Yang mana Lentog Tanjung lah yang kemudian menjadi jujugannya.
Sebenarnya mereka rata-rata bersemangat untuk segera menikmati Lentog Tanjung ini ( mungkin karena penasaran,…seperti apa sih makanan lentog kudus itu ..?? ).
Namun ketika lentog mulai dibuat atau disajikan, mulailah timbul pertanyaan : “kok piringnya kecil?”
Atau pertanyaan sejenis lainnya : “ kok porsinya sangat kecil?”.

Dan pertanyaan seperti ini terulang lagi ketika mencoba menikmati makanan khas Kudus lainnya, Nasi Pindang Kudus. “ Kok piringnya kecil ? Porsinya juga kecil?”

Dan sekali lagi. Ketika mereka kemudian minta untuk mencicipi nikmatnya Soto Kudus, makanan khas kudus yang lezat dan sudah sangat terkenal.
Hanya saja kali ini umumnya mereka sudah tidak bertanya lagi.
Namun raut wajahnya tetap menyiratkan rasa keheranan dan pertanyaan.
Sebab jika dibanding dengan penyajian soto di kota-kota lainnya, mangkok tempat penyajian soto Kudus, tidak saja terbilang kecil tetapi memang sangat mungil.


Sialnya, ketika kemudian mampir bertandang ke rumah saudara atau teman lainnya yang memang benar-benar asli “cah” Kudus.
Setelah berhai-hai, begitu hidangan dan makanan kecil mulai disajikan ( orang Kudus menyebut “sogatan” ), semuanya tampak seperti perkakas Liliput bagi pandangan mereka.
Piringya kecil, cawannya mungil , gelasnya mini ( itupun minumannya tidak penuh pula ) dan ukuran stoples makanannya …….mau memasukkan tangan saja susah, apalagi mengambil makanannya.
Kok “kayak” mainan anak-anak ? …Kata mereka.


Dan karena mungkin sudah tidak tahan, ketika dalam perjalanan pulang banyak yang bertanya :
“ Eh,…memangnya orang Kudus itu pelit-pelit ..ya..?...”


SIALAN ….
Namun jika digagas, pertanyaan dan “tuduhan” yang diajukan oleh orang-orang yang baru tahu kebiasan dan budaya orang Kudus, sebenarnya harap maklum dan wajar saja.
Sebab memang seperti itu kenyataan dalam pandangan mata.
Meski dibaliknya terdapat filosofi dan pelajaran yang sangat dalam, tidak seperti yang mereka “tuduhkan”.

Filosofi dan pelajaran dibalik porsi makanan khas Kudus yang kecil dan sedikit

“Warisan” Dua Sunan

Apa yang menjadi kebiasaan dan budaya orang Kudus seperti di atas, tidak bisa lepas dari pendidikan dan pengajaran 2 orang Sunan yang bermukim di wilayah kota Kudus pada jaman dulu kala, Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Kedua Sunan yang merupakan bagian dari Wali Songo ini, disamping memiliki pemahaman dan pengetahuan agama yang mumpuni juga memiliki kemampuan teknis dan kemampuan social yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Sunan Kudus dikenal sebagai Panglima Perang pilih tanding. Jarang orang yang bisa menandingi kemampuan beliau dalam mengatur strategi dan pertempuran. ( …Kecuali Saridin atau Syeh Jangkung …kali ..).
Selain itu Sunan Kudus juga dikenal sebagai orang yang kaya dan sukses, berkat kemampuannya dalam mandiri dan ulet berwirausaha.
Kemampuan Sunan Kudus ini kemudian ditularkan dan diturunkan pada masyarakat Kudus. Hingga dikenal slogan “GUSJIGANG”.
Yaitu sebagai oang Kudus haruslah berkelakuan dan berahlak baGUS, pintar mengaJI dan piawai dalam berdaGANG.

Sedangkan Sunan Muria, selain sangat gigih dalam bedakwah di bagian utara wilayah Kudus ini, juga mengajarkan penduduk dalam wirausaha lainnya, yaitu terutama dalam hal bertani dan bercocok tanam.
Di wilayah sekitar Makam Sunan Muria, sampai saat inipun masih terkenal akan hasil bercocok tanamnya, terutama pisang ( yang ukurannya sangat besar ), umbi jangklong, kayu pakis serta buah Parijotho .
Buah Parijotoho banyak diburu oleh ibu hamil. Sebab konon mitosnya, ibu hamil yang makan buah Parijotho, akan dikaruniai putra atau putri yang wajahnya menarik.

Jadi kedua orang Sunan yang ada di wilayah Kudus ini mewariskan pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat Kudus sebagai enterpreneur yang selalu mandiri, ulet, dan pandai berhemat tidak bersikap konsumtif.

Karena memang Ajaran agama Islam itu demikian

Sebagai Wali, kedua beliau tentu sangat tahu, bahwa apa yang diajarkan di atas ( mandiri, ulet dan tidak boros ) merupakan penjabaran lebih luas dan lanjut dari apa yang diajarkan Islam.
Dalam Islam juga diajarkan agar umat Islam tidak makan jika tidak lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.
Dan dengan tegas Islam mengajarkan manusia agar tidak berlebihan.
Segala sesuatu yang berlebihan akan dibenci…bahkan oleh Tuhan.
Termasuk dalam urusan makan.

Dan apa yang diajarkan Islam telah dicerna dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh kedua beliau Sunan ini. Yang salah satu penjabarannya adalah dengan cara dan kebiasaan yang diturunkan seperti di atas.
Wadah makanan mungil, porsi kecil.

Dan perlu diingat, baik Sunan Kudus ataupun Sunan Muria sangat arif, bijak, lembut dan toleran dalam berdakwah agama Islam. Beliau juga menggunakan contoh pengandaian ( Jawa : “sanepo”) dan pertanda. Menghimbau masyarakat ( Islam ) Kudus untuk tidak menyembelih sapi, misalnya.
Sebagai bentuk penghormatan umat Hindu yang menjadi mayoritas waktu itu.

Jadi….
SIALAN, masak cah Kudus dianggap pelit …..
Lagian, kalau makannya sedikit, kan malah bisa bikin langsing…Ya, gak cah....?

Setelah ini simak juga lho yang dibawah ini..nih :

Share this:

Menarik Untuk Dilihat :
Disqus Comments