-->

Mengapa Kota Kudus Dijuluki Kota Kretek ? Ini Sebabnya

Mengapa Kota Kudus Dijuluki Kota Kretek ? Ini Sebabnya

Pernah berkunjung atau sekedar lewat di kota Kudus ?

Selama ini anda mungkin hanya mengenal kota Kudus karena adanya Menara Kudus yang sangat terkenal yang menjadi tujuan wisata bagi para pelancong dari luar kota atau bahkan dari mancanegara.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi, ketika para wisatawan melakukan wisata religi yang utamanya disebut wisata ziarah makam wali, maka Menara Kudus, tepatnya kompleks masjid Menara Kudus dimana Sunan Kudus dimakamkan selalum menjadi destinasi wisata yang “wajib” dikunjungi, selain makam Sunan Muria yang juga masih terletak di wilayah kota Kudus, tepatnya di gunung Muria.

Atau anda mengenal kota Kudus sebagai kota Santri. Karena kota Kudus memang salah satu basis penyebaran agama Islam sejak jaman dulu kala, hingga kini.


Namun disamping bangunan protipe menara yang banyak dijumpai di kota Kudus, begitu anda memasuki kota Kudus, ketika masuk melalui arah Barat dari Semarang dan Demak, anda akan “disambut” dengan sebuah Pintu Gerbang Kota Kudus yang begitu megah dan indah.
Pintu gerbang kota kudus yang terbuat dari metal tersebut baru jadi dan diresmikan beberapa waktu lalu. Namun meski baru jadi, pintu gerbang kota kudus yang megah tersebut sudah menarik perhatian pengunjung, baik masyarakat lokal ataupun pengendara yang sekedar lewat.
Terbuat dari metal anti karat dan dihiasi dengan tata lampu yang begitu menawan- terutama di malam hari - pintu gerbang kota Kudus tersebut melambangkan lembaran daun tembakau.



Sebagaimana dengan prototipe Manara Kudus, bangunan atau patung yang melambangkan daun tembakau dan cengkeh juga banyak ditemukan di berbagai pelosok kota Kudus.
Termasuk pula pada pintu gerbang kota Kudus ke arah kota Pati.

Mengapa di kota Kudus banyak terdapat bangunan atau patung yang melambangkan kedua hal ini.

Sebab selain dikenal sebagai kota Santri, kota Kudus juga dijuluki sebagai kota Kretek.

Dan, bangunan atau patung-patung tersebut memang melambangkan industri r0k0k kretek yang memang banyak terdapat di kota Kudus.
Baik yang berskala raksasa dengan cakupan baik nasional maupun internasional, seperti PR. Djarum Kudus, berskala nasional semacam PR. Nojorono, dan PR. Sukun ataupun yang berskala menengah ke bawah, yang jumlahnya bahkan mencapai puluhan atau ratusan buah ( namun saat ini, karena satu lain hal, banyak yang gulung tikar alias gulung alat lintingan ).

Di kota Kudus, industri r0k0k merupakan penyumbang terbesar bagi pendapatan daerah, termasuk pendapatan nasional. Dengan jumlah tenaga kerja – yang jika sampai di PHK semua – sangat mungkin akan dapat menimbulkan kericuhan dan meningkatkan angka kejahatan.
Di hampir seluruh desa di wilayah kota Kudus, masyarakatnya bisa dipastikan ada yang bekerja di industri r0k0k ini.

Industri r0k0k sudah menjadi denyut nadi bagi kota yang “hanya” memiliki luas sebesar 425,16 km2 ini. Yang itu artinya jika kota Kudus ini wilayahnya seumpama berbentuk persegi sempurna maka ukurannya tidak lebih besar dari 20,7 km x 20,7 km.
Dan itu artinya lagi, untuk menjalajahi kota Kudus dari satu ujung ke ujung lainnya, bisa ditempuh dengan waktu tidak lebih dari 30 menit perjalanan kendaraan bermotor.


Dan itu memang faktanya.
Begitu anda memasuki kota Kudus dari arah mana saja, baik barat ataupun timur, jika berjalan terus maka kurang dari waktu tersebut, anda sudah meninggalkan keluar dari kota Kudus lagi.

Mungkin ada yang “protes”.
Jika masalah “besar-besaran” industri r0k0k, toh masih ada lagi yang juga tidak kalah besarnya dengan PR.Djarum Kudus. Di Kediri, Jawa Timur juga ada PR.
Gudang Garam yang juga berskala raksasa.
Mengapa hanya kota Kudus yang dijuluki sebagai kota Kretek. Untuk menjawab hal ini, memang harus meninjau ulang dan menyimak sejarah.

Menurut catatan sejarah, sampai sejauh ini, cikal bakal industri rokok modern, dimulai dan tumbuh di kota Kudus. Tepatnya yaitu di kawasan Kudus Kulon yang juga merupakan cikal bakal kota Kudus.


Pada tahun 1906, Nitisemito, seorang pemuda buta huruf anak dari kepala desa Janggalan yang bernama Haji Sulaiman memulai merintis usaha industri r0k0k kretek.
Nitisemito yang nama aslinya adalah Rusdi ini memulai usaha industry rokok setelah beberapa kali usaha yang dijalaninya gagal.
Mulai dari merantau ke Malang Jawa Timur untuk bekerja sebagai tukang jahit sampai berdagang.

Namun penemu r0k0k kretek sendiri sebenarnya bukan Nitisemito. Penemuan atau penciptaan r0k0k kretek lebih merujuk kepada Djamhari, yang secara unik dan tidak sengaja menemukan r0k0k kretek ini. Kemudian kepada Mbok Nasilah yang juga dianggap sebagai penemu rokok kretek , untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870.
Di kemudian hari, Mbok Nasilah ini menjadi istri Nitisemito.


Baru pada tahun 1914, perusahaan Nitisemito resmi berdiri dengan nama Bal Tiga di desa Jati. Dan r0k0k kretek produksinya diberi nama r0k0k kretek Tjap Bal Tiga. Sebelumnya rokok produksinya diberi label "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" yang berarti Rokok Cap Kodok makan Ular. Namun nama ini dianggap tidak membawa keuntungan sehingga akhirnya diganti dengan Tjap Bal Tiga.

Berkat kegigihan, ketekunan dan kecerdasannya, usaha industri r0k0k modern yang dirintis Nitisemito ini berkembang sedemikian pesat.
Hanya dalam kurun waktu 10 tahun sejak berdiri, perusahaan Nitisemito menjadi sebuah perusahaan raksasa untuk ukuran jaman sekarang.
Di masa jayanya, sekitar tahun 1938 perusahaan Nitisemito bahkan telah berhasil memproduksi r0k0k kretek sebanyak 10 juta batang rokok per hari, dengan tenaga kerja berjumlah 10.000 orang.


Dan eloknya, seorang pribumi Nitisemito ini mampu memperkerjakan orang-orang Belanda sebagai pembantunya.
Eloknya lagi, ketika Indonesia masih dalam cengkeraman penjajahan Hindia Belanda, dimana segala sesuatunya masih sangat terbatas, Nitisemito bahkan sudah menggunakan pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta untuk mempromosikan r0k0k kretek Tjap Bal Tiga-nya.
Penjualan produknya, telah mencapai kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri.
Bayangkan saja, betapa besar perusahaan Nitisemito kala itu.


Dan atas rintisan itu pula, r0k0k kretek kemudian tumbuh dan berkembang sangat pesat.

Pada sekitar tahun 1914 saja di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem).
Pabrik r0k0k yang besar kala itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejak saat itu kota Kudus kemudian menjadi “basis” industri r0k0k kretek modern.
Dan tidak hanya sebatas di kota Kudus dan sekitarnya saja, namun akhirnya menyebar ke seluruh Nusantara. Berkembang terus hingga saat ini.

Itu sejarahnya.
Karena hal itu pula-lah, pada akhirnya kota Kudus disebut juga sebagai kota Kretek, bukannya kota yang lainnya. Sebab cikal bakal industri r0k0k modern memang berasal dan tumbuh di kota kecil ini.
Dan untuk memotret dan mengabadikan perjalanan industri r0k0k di tanah air, di kota Kudus pula terdapat sebuah museum yang memang khusus dibuat untuk hal itu, dinamakan Museum Kretek.


Dalam Museum Kretek ini ditampilkan perjalanan industri rokok kretek Indonesia dari masa ke masa dengan segala pernak-perniknya. Termasuk patung Nitisemito – bapak r0k0k kretek – Indonesia dengan posisi yang unik.


Lihat juga yang tak kalah menariknya :

Share this:

Menarik Untuk Dilihat :
Disqus Comments