Semua orang Kudus pasti tahu, dimana dan seperti apa desa Tanjungkarang itu ?
Desa Tanjungkarang – lebih sering disebut sebagai desa Tanjung saja – dikenal sebagai desa asal muasal dan sentra masakan khas Kudus, Lentog Tanjung.
Namun selain itu desa Tanjungkarang juga dikenal sebagai daerah langganan banjir.
Boleh dikata, setiap musim penghujan tiba, desa Tanjungkarang dan sekitarnya atau sebagian wilayahnya bisa dipastikan tergenang air, banjir.
Meski dengan intensitas yang berbeda-beda di setiap tahunnya.
Pada saat ini, dalam wilayah administratif kota Kudus, desa Tanjungkarang masuk dalam Kecamatan Jati.Yang kalau dihitung-hitung, luas desa Tanjungkarang adalah sebesar 152.729 Ha.
Luas desa Tanjungkarang yang “segitu”, jika dirinci berupa :
- Tanah sawah 83.761 Ha
- Tanah kering 14.204 Ha
- Perkebunan 22.798 Ha
- Sisanya berupa jalan dan sungai.
Dengan luas desa yang “segitu” pula, dari data yang didapat ( namun belum diperbarui ) jumlah kepadatan penduduknya mencapai 4.378 jiwa, 1.204 KK.
Yang jika dirinci , memiliki mata pencaharian terbesar sebagai berikut :
- Buruh industri : 773 orang
- Burung Bangunan : 456 orang
- Pedagang : 264 orang
Karena luas yang “segitu” dan jumlah penduduk yang segitu, desa Tanjungkarang dibagi menjadi 2 Dusun atau Dukuh, 6 Rukun Warga (RW), dan 25 Rukun Tetangga (RT) .
Uniknya, desa Tanjungkarang ini memiliki pemeluk agama yang cukup lengkap.
Pemeluk agama :
- Islam : sebanyak 3.990 orang
- Kristen Protestan : sebanyak 221 orang
- Kristen Katolik : sebanyak 117 orang
-
Dan Budha : sebanyak 50 orang
Dimana para pemeluk agama ( masing-masing) tersebut dilayani oleh :
- Masjid : 3 bangunan
- Gereja : 1 bangunan
- Klentheng : 1 bangunan
Eh, kok ngelantur.
Kembali pada judul dan pertanyaan di atas : Mengapa Desa Tanjungkarang Dan Sekitarnya Menjadi Daerah Langganan Banjir ?
Kalau dijawab ngelantur juga ala Cak Lontong Sih gampang, “sebab desa Tanjungkarang wilayahnya lebih rendah dari daerah sekitarnya, karena itulah menjadi langganan banjir”
Bahkan kalau dikejar lagi dengan pertanyaan : mengapa wilayah desa Tanjungkarang lebih rendah dari daerah sekitarnya?
Jawabnya pasti : “karena desa Tanjungarang tidak lebih tinggi dari daerah sekitarnya….dan seterusnya”.
Itu sih …ala Cak Lontong..
Maksudnya,
Wilayah Kudus, termasuk desa Tanjungkarang ini sebenarnya kan termasuk wilayah yang (relative) lebih tinggi bila disbanding dengan daerah – Demak misalnya.
Atau bahkan daerah Semarang yang tinggi daratannya sebagiannya lebih rendah dari muka laut.
Sehingga maklum saja jika sebagian daerah Semarang selalu dilanda banjir atau rob.
Sedangkan desa Tanjungkarang kan tidak. Lagian wilayah Kudus ini jauh dari laut.
Jadi apa penyebabnya…
Sebenarnya, jawaban ala Cak lontong di atas ada benarnya.
Gini Ceritanya …
Menurut keterangan dan yang dipercayai oleh para ahli sejarah, pada jaman dulu kala, tepatnya sebelum abad 17, ada sebuah selat yang memisahkan antara Pulau Jawa dan semanjung Muria.
Artinya wilayah gunung Muria yang dikenal saat ini, dulunya sebenarnya terpisah dari pulau Jawa, dan merupakan sebuah “pulau” yang berdiri sendiri. Jadi ada pulau Jawa dan Pulau Muria.
Ini bukan ngarang lho, tapi berdasarkan apa yang ditulis berdasarkan kajian oleh HJ De Graaf dan Th G Pigeaud (Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram; Grafiti Pers, 1985), Pramoedya Ananta Toer (Jalan Raya Pos, Jalan Daendels; Lentera Dipantara, 2005), serta Denys Lombard yang meluncurkan dua serial bukunya (Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu; Gramedia, 1996 a-b).
Kurang lebih, seperti ini lho gambar petanya :
Nah kelihatan kan …( jika tidak kelihatan coba pakai kaca pembesar ).
Dari situ kelihatan ( padahal tidak kelihatan, maksudnya untuk gampangnya…), bahwa selat Muria memiliki pelabuhan transit, yang letaknya adalah…..di desa Tanjungkarang saat ini.
Pelabuhan Tanjungkarang ( jaman dulu disebut begitu ) merupakan salah satu pelabuhan transit yang sangat ramai. Yang tidak hanya menjadi jalan pintas perdagangan bagi para pedagang antar pulau Nusantara, bahkan juga sampai pedagang manca. Para pedagang tanah Arab utamanya.
Sebagai pelabuhan transit, Pelabuhan Tanjung Karang menjadi penghubung ke pelabuhan Demak, Jepara dan Juwana.
Nah sekarang ingat kan, mengapa waktu sekolah dulu Kerajaan Demak disebut sebagai kerajaan Maritim.Sebab dulunya pusat Kerajaan Demak memang terletak dekat di tepi pantai Selat Muria yang memisahkan antara Pulau Jawa dan Pulau Muria dimana kapal-kapal dapat berlayar dengan baik saat melewati selat yang cukup lebar.
Namun setelah abad 17, selat Muria mulai mengalami pendangkalan karena proses sedimentasi dan akhirnya benar-benar dangkal hingga tidak bisa dilewati kapal.
Karena memang sudah tidak ada airnya lagi.
Baru bisa berlayar ( denga kapal kecil ) jika selama musim hujan, Karena genangan air cukup tinggi mulai dari Jepara sampai Pati, di tepi Sungai Juwana.
Dengan berlalunya jaman, proses pendangkalan sedemikian sempurna, hingga selat Muria akhirnya benar-benar hilang ditelan tanah sedimen.
Hingga pulau Muria dan Pulau Jawa bersatu seperti yang diketahui saat ini.
Namun jejak-jejak jalur air dari selat Muria masih bisa dilihat dari daerah aliran Sungai Silugonggo saat ini.
Dan dari jejak-jejak tersebut pada akhirnya meninggalkan daerah-daerah langganan banjir.
Mulai dari wilayah Demak, Kudus hingga Pati.
Dan desa Tanjungkarang ini memang salah satu jejaknya.
Karena itu pula desa Tanjungkarang ini menjadi daerah langganan banjir hingga saat ini.
Jadi…..jawaban ala Cak lontong di atas, kali ini ternyata benar juga….
Namun diatas itu semua, sedikit banyak karena andil dari banjir pula, Lentog Kudus kemudian dikenal secara luas, sehingga menjadi trade mark, makanan khas Kudus.
Sebaiknya lihat juga :